Daftar Blog Saya

Rabu, 27 Oktober 2010

Cikalong Pancer Bumi

PENDAHULUAN

Pencak silat adalah sistem bela diri yang dikenal baru setelah kemerdekaan. Sebelumnya kedua kata ini belumlah terkenal. Namun pemisahan dua kata tersebut menjadi pencak yang memiliki artian “permainan”, teoritis dan propan ataupun silat yang suatu sistem bela diri yang sungguh-sungguh, praktis dan sakral telah dikenal sebagian masyarakat kita terdahulu terutama yang berada dipulau Jawa, Bali dan Madura. Sementara kata silat lebih akrab didengar di masyarakat rumpun Melayu. Tatar Pasundan merupakan salah satu daerah sumber yang memiliki banyak dan beragam aliran, yang mewarnai persilatan dunia. Beberapa istilah pencak silat yang dikenal dalam masyarakat Sunda antara lain penca silat, penca, silat, amengan, ulin dan maenpo.
Kesemuanya ini merupakan suatu hasil dari kekayaan intelektual para leluhur bangsa ini yang yang arif dalam memandang harmoni kehidupan. Namun kini seiring dengan semakin pesatnya laju kehidupan keseharian masyarakat Indonesia yang kian modern, informasi mengenai pencak silat, penca, silat ataupun maenpo bukan semakin melekat erat namun semakin jauh dan serasa asing di masyarakatnya sendiri terutama generasi muda. Adalah merupakan tanggung jawab kita bersama dalam kearifan menyikapi kelangsungan hidup juga kelestarian pencak silat di dalam konteks jaman. Agar senantiasa pencak silat yang dengan segala nilai-nilai keluhurannya dapat mempertahankan keberadaannya di tengah arus budaya global yang kian menderanya.


Sejarah Maenpo Cikalong

Pencak Silat, ada pendapat yang menafsirkan dengan memisahkan arti dari kedua kata namun ada pula yang menganggap kedua kata tersebut sebagai bentuk dari penyatuan kata. Pendapat pertama yang memisahkan artian kata berpendapat bahwa Pencak adalah bentuk permainan (keahlian) untuk mempertahankan diri dengan menangkis, mengelak dan sebagainya. Sementara silat adalah kepandaian berkelahi, seni bela diri yang berasal dari Indonesia dengan ketangkasan membela diri dan menyerang untuk pertandingan atau perkelahian (KBBI, Pusat Bahasa 2008) Namun kesemuanya itu memiliki kesamaan subtansi di dalam hal pengertian. Tokohtokoh pendiri IPSI menyepakati pengertian pencak silat dengan tidak lagi membedakan pengertian antara pencak dan silat karena memiliki pengertian yang sama. Kata pencak silat adalah istilah resmi yang digunakan Indonesia untuk bela diri rumpun Melayu ini, sementara negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam lebih memilih kata silat.
(Perbincangan dengan Bapak Eddie M. Nalapraya , 26 Mei 2007)
Di Tatar Pasundan istilah bela diri pencak silat dikenal kata penca, silat, penca silat dan maenpo. Untuk kata penca terdapat di dalam manuskrip Sanghyang ikshakandha Ng Karesiyan, kidung Sunda mengenai tragedi Bubat (1346M), Dyah Pitaloka beserta Ayahya Prabu Maharaja Linggabuwana Wisesa dan ibundanya Retna Lisning yang tewas di dalam pertempuran yang sangat tidak berimbang dalam jumlah melawan pasukan kerajaan Majapahit yang menyerangnya.
puluh-puluh rombongan heunteu kaitung
tujuh rupa penca, anu ulin pakarang bae
lain deui bangsa, serimpi bedaya
(hoen 1878:99)
(palagan bubat, soepandi & atmadibrata 1977:45)


Meski induk organisasi pencak silat (IPSI) telah menyepakati tentang pengertian pencak silat itu sendiri, namun demikian dalam masyarakat tradisional Sunda sendiri masih banyak yang mengartikan kata pencak silat sebagai dua kata yang berbeda. Penca sering diartikan sebagai suatu bentuk bela diri yang masih dapat diperlihatkan sebagai bentuk kesenian yang kadang diidentikkan dengan ibing (penca : kaasup olah raga bela diri ngagunakeun karikatan jeung kapinteran ngagerakkeun anggahota badan biasana bari ditabuhan ku kendang penca / termasuk olah raga bela diri yang menggunakan ketangkasan dan kepandaian menggerakkan anggota badan yang biasanya diiringi tetabuhan gendang pencak, Kamus Basa Sunda : R.A. Danadibrata, hal : 514), sementara silat adalah bentuk bela diri atau ilmu perkelahian dan pertempuran yang sesungguhnya yang hanya dikeluarkan pada saat yang mendesak dan tabu untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Dengan bahasa keseharian penca sering diidentikan dengan kembangna (kembangnya) sedangkan silat buahna, eusina atau intina (buahnya, isinya atau intinya).

1. Asal kata maenpo
Sementara istilah lain dalam bahasa Sunda, khususnya daerah Cianjur pencak silat lebih dikenal dengan sebutan maenpo, meski diakui perkembangan istilah ini tidak sepesat pencak silat dan masih kurang akrab didengar di telinga masyarakat Indonesia. Dan orang yang membawa serta mempopulerkan istilah maenpo ini pada masyarakat Cianjur adalah Raden Haji Ibrahim Jayaperbata dikenal sebagai pendiri aliran Cikalong. Pengertian kata maenpo sendiri ada yang menerjemahkan terdiri menjadi dua kata serta dipisahkan penulisannya yaitu maen (permaenan) dan po (poho) yang berarti lupa begitu pula dalam penulisannya, seperti yang pernah di tulis O’ong Maryono dalam bukunya “Pencak Silat Merentang Waktu”. Selain itu ada juga pendapat yang menuliskannya menjadi satu kata yakni maenpo. Kata maenpo ada juga yang menjadikannya akronim kata maen anu euweuh tempo di populerkan oleh Raden Haji Tarmidi (keponakan dari Raden Haji Ibrahim Jayaperbata). Akronim ini menggambarkan maenpo sebagai suatu seni bela diri yang memiliki pola dan teknik permainan yang yang sangat cepat yang tidak memberikan tenggang waktu yang panjang dan kesempatan bergerak kepada lawan yang dihadapi. Dalam maenpo sendiri pergerakan baik dalam menyerang maupun dalam menahan atau membendung serangan lawan, banyak memanfaatkan celah waktu yang sempit yang dapat mempersulit pergerakan dan posisi lawan. Selain itu ada pula yang mengkaitkan kata po sebagai serapan dari bahasa Cina yang berarti kepalan tangan / pukulan. Hal ini dapat dipahami karena para guru Raden Haji Ibrahim Jayaperbata tinggal di Batavia dimana kemungkinan pengaruh penggunaan istilah bahasa Cina banyak yang menjadi serapan dan bagian dari bahasa keseharian masyarakat Betawi yang kemudian terbawanya penggunaan kata maenpo sebgai istilah ke dalam pembendaharaan kata bahasa Sunda. orang Betawi masih menggunakan dan akrab dengan istilah maen pukulan sebagai padanan kata pencak silat hingga sampai sekarang.

2. Sejarah Maenpo Cikalong
Aliran Cikalong adalah aliran pencak silat yang berasal dari daerah Cianjur, tepatnya desa Cikalong -Cikundul (tempat awal mula berdirinya Cianjur) yang berada kini di kecamatan Cikalong Kulon lokasi ini dapat ditempuh melalui rute jalur alternatif dari Jakarta melalui Jonggol. Kebanyakan orang mengira bahwa aliran Cikalong ini adalah merupakan bela diri yang terinspirasi dari teknik perkelahian hewan mamalia terbang yaitu kalong (pteropus edulis) atau kelelawar besar berdasarkan pada kata dari aliran ini. Maenpo Cikalong sama sekali tidak mengambil bentuk atau terinspirasi dari hewan, Maenpo Cikalong adalah aliran bela diri pencak silat yang merupakan hasil perenungan dari Raden Jayaperbata setelah menunaikan rukun Islam ke lima, Raden Jayaperbata berganti nama menjadi Raden Haji Ibrahim Jayaperbata.
Raden Haji Ibrahim Jayaperbata yang terlahir dari keluarga ningrat dan bangsawan Cianjur, leluhurnya adalah merupakan salah satu pendiri Cianjur. Lahir diawal abad XVIII atau tepatnya pada tahun 1816 meninggal tahun 1906, di desa Cikalong. Diketahui bahwa salah satu dari leluhurnya, Raden Wiranagara atau yang dikenal dengan nama Aria Cikalong pernah berguru dan membawa seorang ahli silat bernama Embah Kahir atau Embah Khaer yang kemudian menetap dikenal sebagai aliran Cimande ke keluarga ini hingga dikenal aliran bela diri ini ke masyarakat luas.

Silsilah leluhur Raden Jayaperbata
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar I (Kanjeng Dalem Cikundul)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar II (Kanjeng Dalem Tarikolot)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar III (Kanjeng Dalem Dicondre)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar IV (Kanjeng Dalem Sabirudin)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar V (Kanjeng Dalem Muhyidin)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar VI (Kanjeng Dalem Dipati Enoh)
Raden. Wiranagara (Aria Cikalong)
Raden. Rajadireja (Aom Raja) Cikalong
Raden. Jayaperbata (Rd. Haji Ibrahim)

Guru – guru dan Aliran yang Pernah Dipelajari
tak kurang dari 17 (tujuh belas) guru / perguruan Raden Jayaperbata menimba ilmu bela diri pencak silat, Kebanyakan dari aliran yang dipelajarinya adalah memiliki dasar Cimande. Hal ini dapat dipahami karena saat itu telah berkembang pesat aliran Cimande dan menjadi rujukan bagi perguruan silat yang berada di Tatar Pasundan. Namun dari sekian banyak perguruan dan guru yang dijadikan tempat menimba ilmunya hanya ada empat guru yang menjadi figur sentral dalam aliran Cikalong yang di kemudian hari.
Mereka adalah :
a. Raden Ateng Alimuddin
b. Bang Ma’ruf / Rauf
c. Bang Madi
d. Bang Kari.
Keempat guru inilah yang sangat mempengaruhi bentuk jurus, pola langkah maupun pengerahan tenaga pada aliran Cikalong. Sementara Sabandar atau Mama Kosim atau Mohammad Kosim (1766-1880) yang merupakan seorang pendekar pencak silat Sumatra Barat tepatnya dari Pagaruyung yang pernah berada dan menetap di daerah Sabandar-Cianjur nantinya akan menjadi bagian dari rumusan pola pengerahan tenaga aliran Cikalong pada generasi kedua dan seterusnya, sehingga memperkaya kaidah yang
dimiliki aliran ini.

Hakikat Maenpo Cikalong

Kemampuan mengatasi atau menaklukkan lawan tidak hanya dengan kekuatan jasmani semata namun lebih kepada kemampuan akal dan teknis sehingga terhindar dari malapetaka baik diri sendiri ataupun orang lain, sesungguhnya maenpo Cikalong adalah sebagai alat tali silaturahmi dan persaudaraan. Membeladiri bukan untuk mencelakai lawan, namun Membeladiri dan menyelamatkan lawan
Maenpo Cikalong memandang bahwa keahlian dalam menguasai bela diri sepenuhnya adalah sebagai alat kontrol yang senantiasa mempertimbangkan rasio dan hati (rasa) dalam bertindak dan menganggap bahwa perkelahian bukan merupakan pilihan utama dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dan ada. Karena keilmuan dalam maenpo Cikalong ditujukan untuk kebaikan dan ibadah bagi yang menyebarkannya maka tindakan menjaga nilai-nilai tersebut perlu dilakukan, yang sering menjadi kendala bagi perkembangannya dan sekaligus menjadi nilai tambah dan keunikan dari aliran maenpo Cikalong ini adalah persyaratan yang terkenal begitu selektif dan ketat. Maenpo Cikalong memandang bahwa ilmu, keterampilan, sikap yang dipelajari lebih dari sekedar “bela diri” sebagai sarana mempertahankan diri namun lebih kepada “aji diri” yakni pemahaman yang lebih mengkaji segala akibat tindakan yang akan dilakukan kepada orang lain jika hal tersebut terjadi pada diri sendiri.
sangat sulit untuk mengetahui siapa yang sudah tinggi ilmunya dan siapa yang masih rendah, sebab apa yang tampak , misalnya kebagusan ibing (tari penca) tidak dapat di jadikan
patokan kemahiran penca.

BELAJAR MAENPO CIKALONG
”Ulah hayang ngan bisa lamun diajar Cikalong mah, ngan kudu ngarti…”
Dalam maenpo Cikalong mempelajari ilmu adalah suatu kegiatan yang tidak mengenal kata tamat. Salah satu bentuk pesan yang pernah dikatakan oleh penyebar generasi pertama, Raden Obing Ibrahim (1860-1942) mengatakan:
Diingatkan kepada semua yang sedang belajar atau yang sudah belajar amengan (penca), janganlah sampai melanggar nasihat gurunya, seperti mencoba ilmu orang lain atau memamerkan gerakan di jalan atau di tempat umum, sebab hal demikian kurang pantas. Belajar amengan itu tidak ada akhirnya, selamanya kita belajar terus, berakhir hanya pada saat meninggal. Tradisi lisan yang menjadi budaya dalam sejarah bela diri Tatar Pasundan menurunkan berbagai pedoman dalam pembiasaan dan pemerasaan di bela diri, yang biasanya belum banyak penelitian dan penelaah yang mendalam mengenai sistem pembelajaran yang unik ini karena diperlukan pengkajian lebih mendalam untuk “melihat” khazanah kekayaan yang dimilikinya, salah satu keunikan yang jarang sampai ke khalayak ramai diantaranya adalah “rasa” maenpo Cikalong menurut cara pandang orang maenpo Cikalong itu sendiri.

Rasa
Rasa dalam pengertian maenpo Cikalong yang adalah kejadian atau pengalaman seseorang mendeteksi keinginan atau kehendak lawan sebelum melakukan gerakan. Ini didapat dari berbagai pengalaman yang dilatih dengan “napel” atau “tempelan”dengan berbagai karakter orang. Apabila semakin banyak seorang praktisi Cikalong melakukan “napel” atau “tempelan” dengan berbagai orang maka akan semakin banyak input memory yang akan ia dapat untuk mendeteksi kehendak lawannya. Napel atau tempelan adalah salah satu bagian dari teknik pelatihan maenpo Cikalong dimana antara murid dengan murid ataupun murid dengan guru
saling menempelkan tangan baik satu maupun keduanya yang dimaksud untuk mengetahui, mengukur dan merasakan seberapa besar tenaga lawan dan arah gerak yang akan dilakukan Tingkatan Penguasaan Maenpo Cikalong
a. Gerak
Pengertian gerak menurut maenpo Cikalong adalah semua bentuk teknik bela diri baik serangan, tangkisan atau elakan yang meliputi kaki dan tangan maupun pola langkah mengandung tenaga yang masih terlihat oleh mata dan dapat disaksikan banyak orang. Dengan kata lain segala bentuk pergerakan anggota badan, pemindahan atau pengubahan posisi badan yang memiliki niat untuk mencapai sasaran yang terlihat itu dinamakan gerak. Penggambaran gerak yang dimaksud maenpo Cikalong meliputi setiap pergerakan anggota badan, lintasan, arah juga pengenaan sasaran.

b. Rasa / Gerak Rasa
Gerak Rasa adalah gerak yang didapat dari pelatihan yang berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan tata gerak silat yang benar dan hingga mencapai tahapan kehalusan, pada penggunaannya gerak rasa ini adalah keadaan yang tak begitu terlihat mendekati samar oleh banyak orang namun hanya dapat diketahui dan dirasakan oleh dua orang yang sedangmelakukan permainan pencak silat ataupun pertarungan.
perpindahan gerak anggota badan, namun telah lebih kepada penyaluran tenaga yang biasanya dilakukan pada tangan adalah antara siku hingga ujung jari tangan, perpindahan bobot dan berat tubuh, tebal tipis areal sentuhan dan mengeras atau tidaknya otot. Seseorang yang memasang uda-kuda tengah sejajar dapat memindahkan bobot dan berat tubuhnya tanpa menggeserkan kaki dengan jauh, ini dapat dilakukan dengan mengeraskan otot salah satu kaki atau melakukan enekanan lebih pada salah satu kaki untuk menitikberatkan posisi ke salah satu kaki.

c. Usik
Usik adalah gerakan kecil yang tidak lagi dapat dilihat tapi hanya dapat dirasakan oleh lawannya dengan menggunakan perubahan tenaga dan teknik yang dilakukan adalah memakai rumusan Madi, Sabandar dan Kari. Usik sendiri memiliki tingkat kehalusan di atas “rasa” di mana pengerahan tenaga pada tangan biasanya hanya sebatas pergelangan tangan ingga ujung jari tangan. Begitu terbatasnya areal penggunaan pada tangan hingga tingkat kesulitan melakukannyapun sangat tinggi, hal ini pula yang menjadikannya banyak penafsiran dan memahaman yang berbeda dalam mengartikan padanan kata dari usik itu ke dalam bahasa keseharian.
Fungsi usik berbeda dengan gerak, di mana gerak lebih kepada niat mencapai atau menghindari sasaran sementara usik adalah berfungsi “mematikan gerak.” Yang dimaksud “mati gerak” dalam usik maenpo Cikalong lebih kepada terbendungnya keinginan lawan untuk melakukan pergerakan bukan dengan mencederai apalagi melukai, dimana ketika posisi lawan enak dan nyaman maka usik berfungsi merubah keadaan di mana menjadikan posisi lawan tidak enak dan tidak nyaman, atau di mana lawan berkeinginan memukul maka dengan usik keinginan tersebut dibendung Seperti halnya rasa jika sebuah usik yang dilakukan dan diperlihatkan pada seseorang dan orang tersebut belum mendapatkan penjabaran secara lengkap akan pembagian tingkatan dalam maenpo Cikalong itu sendiri maka seringkali penafsiran tentang hal tersebut akan jauh dari maksud sebenarnya, hal itu pula yang membuat nilai keunikan maenpo Cikalong tidak serta merta sampai kepada khalayak luas.

Sejumput Kaidah Gerak dan Rasa Dalam Maenpo Cikalong
Dalam Pembentukan Pribadi

- Dalam melakukan gerak dasar Jurus dalam bahasa Sunda dijadikan sebagai akronim dari dua buah kata yaitu jujur dan lurus. Jujur mengandung makna bahwa setiap perilaku yang ada pada pribadi seorang praktisi maenpo Cikalong harus memiliki sikap jujur dan membiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan lurus berarti bahwa setiap indakan di dalam kehidupan harus memiliki suatu pedoman yang lurus sebagai arah (dalam aliran Cikalong agama Islam-lah yang dijadikan sebagai pedoman) guna menghindarkan diri dari berbagai kesalahan dan perbuatan tercela serta merugikan diri sendiri dan orang lain.
- Berdiri kokoh memperlihatkan kekokohan niat baik di dalam hati yang hanya mengharapkan akan ke- ridho-an Allah SWT semata
- Pandangan yang lurus ke depan, memperlihatkan kepercayaan diri dan keberanian. Maksudnya timbulnya keberanian semata-mata hanyalah sebagai bentuk perwujudan dari pembelaan atas kebenaran yang diyakini.
- Badan yang bagian pundak agak sedikit dibungkukkan (rengkuh / bahasa Sunda) menandakan sikap dan sifat yang sopan santun juga rendahan hati. Maenpo Cikalong tetap menempatkan etika dan kesantunan (budaya Sunda) serta kerendahan hati dalam bersifat dan bersikap sehingga lawan yang dihadapi
- Bersikap tenang atau rileks dalam sikap pasang, memberikan makna bahwa bagi seorang praktisi maenpo Cikalong kegagahan bukanlah sikap yang harus ditonjolkan sehingga ingin mendapat kesan ditakuti. Namun kegagahan adalah bentuk “kerja” dari suatu hasil.
- Berhenti sejenak setelah melangkah, memberi arti pembiasaan akan sikap menahan emosi, kesiapan, kesiagaan dan keberhatian-hatian atau kewaspadaan.
-Pukulan dengan tangan yang terbuka mengandung arti kesantunan, dalam sudut pandang maenpo Cikalong segala bentuk sikap yang memperlihatkan kesombongan dan menantang (seperti mengepalkan tangan atau meureupan dalam bahasa Sunda adalah tidak sopan) tidak diperbolehkan.
- Kembalinya tangan pada posisi awal memberi isyarat bahwa setiap selesai melaksanakan sesuatu hendaknya tidak lupa untuk kembali.
- Andaikan belum bisa bersilat: jika ada anggota tubuh yang kesusahan maka yang lain harus membantu
- Jika telah mampu / bisa: maka jika ada kesusahan berusahalah sendiri
- Jika telah ahli maka bela diri adalah untuk membela diri dan menyelamatkan diri sendiri dan lawan bukan untuk mencelakakannya.
- Begitu santunnya etika yang diterapkan seringkali dalam pembahasan lawan lebih banyak dianggap sebagai tamu.Sehingga ketika seseorang bertamu disambut, disediakan atau dijamu, diberi oleh-oleh dan diantarkan (kedah dipapag, disayogikeun, dibekelan, dianter)
- Dasar kuatnya tenaga karena posisi, rubahlah posisi. Sejajar dibuat tidak sejajar, tidak sejajar dibuat sejajar. Menyatu dipisahkan, berpisah disatukan
- Balik ka imah adalah suatu kaidah dalam maenpo yang mengembalikan posisi kepada posisi alami manusia sehingga dapat menahan dan mengatasi pergerakan lawan, mengingatkan diri bahwa penciptaan manusia sebagai sebaik-baik bentuk adalah hal yang patut disyukuri dalam konteks keimanan.

Sumber : http://pancerbumicikalong.com/2009/07/sejarah-filosofi-dan-kaedah-maenpo-cikalong/

Golok Seliwa

…Sebilah golok berkelabat dengan cepat, hanya menyisakan kilau’an dari badan golok yang putih, susah diikuti dengan pandangan mata. Membentuk cahaya yang membungkus tubuh pemegangnya, berputar-putar, membacok, mengiris, dari atas kebawah, dari samping ke kanan, terkadang bersembunyi di ketiak, terlipat di tangan dan seterusnya; seperti tarian ular kobra dalam irama terompet. Dan,.. bim salabim..!, golok sudah berpindah dari tangan kanan ke kanan kiri si pemegang golok, tanpa tahu kapan proses perpindahannya, nyaris tidak terlihat ..dan hoplah!..kini sudah berpindah lagi ke tangan kanan sambil dengan lincah bergerak, melangkah ke segala arah mengayunkan jurus-jurus seliwa yang cepat, tangkas dan telengas.

Inilah ilmu golok khas betawi, Golok Seliwa.
Adegan ini bukan terjadi di film, bukan juga dalam cerita silat fiksi; tapi sungguh ada dan nyata, bahkan dapat disaksikan secara langsung pada sebuah acara bertajuk ‘Workshop Golok Seliwa’. Workshop yang berlangsung pada hari minggu yang cerah, 20 Juni 2009, di bilangan Blok S, Jakarta Selatan ini diselenggarakan atas kerjasama antara Perguruan Golok Seliwa dan Komunitas Sahabat Silat yang biasanya mangkal di dunia maya (http://www.silatindonesia.com/ dan http://www.sahabatsilat.com/ ). Lokakarya atau workshop yang dihadiri lebih dari 50 orang ini termasuk beberapa anak-anak, memang dimaksudkan untuk mengangkat kembali pencak silat khususnya pencak silat tradisional agar semakin dikenal dan dicintai oleh bangsa Indonesia.

Mereka yang hadir pun berasal dari berbagai kalangan; laki-laki, perempuan, tua-muda, ada yang tertarik pada pencak silat tapi belum ada latar belakang beladiri apapun, professional muda, eksekutif di kantornya, karyawan swasta, pengangguran, pensiunan PNS, ibu rumah tangga, praktisi beladiri, pendekar hingga sesepuh pencak silat; semuanya berbaur dengan akrab, ramah, penuh persahabatan dan tanpa keinginan untuk menonjolkan diri masing-masing.

Tuan rumah pun yaitu Bang Husin, pewaris ilmu Golok Seliwa yang sudah langka ini, terlihat menyapa para tamunya dan berbaur dari satu tamu ke tamu yang lainnya dengan ramah dan penuh kekeluargaan.

Menjadi Tuan di Rumah Sendiri
Acara workshop ini dibuka oleh moderator Mas Ekohadi, mewakili dari Komunitas Sahabat Silat, yang dalam sambutanya memberikan apresiasi pada pencak silat tradisional khususnya Seliwa yang sudah mau membuka diri dan bahkan mengadakan acara workshop untuk kalangan umum ini demi kelestarian pencak silat tradisional khususnya aliran Golok Seliwa .

Setelah itu sambutan juga diberikan oleh Pak Bambang Sarkoro, selaku sesepuh dari Komunitas Sahabat Silat, yang mengungkapkan bahwa keberadaan kita semua (komunitas sahabat silat, dll) adalah karena keprihatinan atas nasib, silat tradional khususnya, yang semakin tersisih bahkan nyaris punah serta kurang dikenal oleh generasi penerusnya. Padahal pencak silat, selain warisan mulia dari leluhur yang harus dilestarikan, memiliki demikian banyak kekayaan budaya dan aspek pembanguan jiwa manusia; mulai dari aspek fisik, olahraga, mental spiritual, seni budaya dan juga kecerdasan-kecerdasan lainnya. “Tujuan kita adalah agar pencak silat menjadi tuan di rumahnya sendiri! Dengan semakin dikenal dan dicintai oleh kaum mudanya”, demikian Pak Bambang menegaskan sambutannya.

Asal Usul Seliwa

Dalam perbincangan informal penulis, sebelum acara dimulai, Bang Husin membeberkan tentang ilmu Golok Seliwa yang langka ini. Menurut Bang Husin, salah satu sebab mengapa nama Seliwa dipakai adalah karena kebanyakan gerakan terakhir dalam jurus ilmu golok ini berakhir dengan Seliwa yaitu posisi kaki kiri didepan dengan tangan kanan di depan (posisi menyilang antara tangan dan kaki). Bang Husin sendiri mendapatkan ilmu ini dari keluarganya, yaitu dari ayahnya (babe—istilah betawi), Bpk Husni Embot. Sejak usia 15 tahun dia digembleng oleh babenya untuk ilmu Golok Seliwa dan beladiri tradisional lainnya; setelah itu dia juga sempat disuruh oleh ayahnya untuk berguru pada beberapa pihak lainnya. Babe’nya ini belajar dari kakek (engkong)-nya. Soal siapa guru di atas kakek’nya, Bang Husin sendiri mengaku tidak begitu tahu. Karena memang dulu waktu belajar tidak begitu banyak dikupas soal sejarah keilmuan aliran ini. Hingga praktis silsilah kelimuan berhenti di dua generasi di atas Bang Husin. Untuk saat ini praktis dapat dikatakan bahwa Bang Husin seoranglah yang masih memegang dan menguasai ilmu Golok Seliwa.

Bang Husin lalu bertutur bahwa ilmu ini ya “maen golok”. Karena memang pelajaran untuk peguasaan golok adalah yang utama. Namun demikian pada tahap awal tetap saja akan diajarkan terlebih dahulu ilmu tangan kosong beberapa jurus, sebagai dasar dari permainan Golok Seliwa. Setelah menguasai jurus tangan kosong, murid baru diperbolehkan memegang golok dalam berlatih.

Untuk ukuran golok bagi seorang murid haruslah disesuaikan dengan murid itu sendiri. “Panjangnya satu jengkal masing-masing, ditambah 3 jari (direndeng). Itu untuk badan golok saja, tidak termasuk gagangnya”, kata Bang Husein. Ketika menjelaskan pentingnya ukuran golok yang sesuai untuk masing-masing murid. Hal ini dimaksudkan agar ketika bermain golok, senjata tajam ini tidak melukai pemainnya, karena ukuran panjang yang berlebih, ketika misalnya golok dilipat oleh tangan atau dilipat ke ketiak. Lebih bagus lagi, lanjut Bang Husin, jika goloknya benar pembuatannya yaitu lebih berat berada di bagian depan golok (dekat ujungnya) dan bukan di gagang. Inilah kekhasan golok betawi. Nantinya, ujar bang Husin, setelah menguasai ilmu ini dengan golok yang sesuai dengan kondisi masing-masing ini –istilahnya sudah mengenal sifat golok—akan lebih mudah memainkan beragam jenis dan panjang golok. “Asal kita sudah tahu dan kenal dengan sifat golok”, tandas Bang Husin.

Makna Seliwa

Dalam workshop, pada acara pemaparan tentang ilmu golok seliwa , murid senior Perguruan Golok Seliwa, Bang Edwin mengungkapkan lebih dalam mengenai makna dari seliwa .

Seliwa ternyata memiliki banyak arti yang mendalam. Pertama-tama, seliwa menunjukkan posisi fisik/tubuh yang menyilang antar tangan dan kaki. Misalnya kaki kiri di depan maka tangan kanan di depan dalam sikap pasang atau pukulan; demikian juga sebaliknya. Bahkan posisi salah satu tangan yang terbuka dan salah satunya menutup pun sudah dapat dikategorikan sebagai seliwa.

Seliwa juga dapat berarti tenaga yang bersilang. Misalnya dalam posisi kuda-kuda dengan kaki kanan dan tangan di depan; tumpu kekuatan tenaga ada di kaki kiri dan tangan kanan, ini juga sudah seliwa. Arah tenaga/energi yang berlawanan.

Arah yang hendak dituju juga dapat dimaknai sebagai seliwa jika untuk mencapainya tidak langsung (lurus) ke sasaran namun berputar, secara tidak langsung, melingkar atau ke bawah dulu baru ke atas, dan seterusnya. Tidak linier dan tidak satu arah tapi kaya akan berbagai kemungkinan arah. Dan yang terakhir seliwa dalam rasa. Rasa ke dalam diri dulu baru rasa ke luar diri.

Secara ringkas ada hal prinsip beladiri dalam ilmu Golok Seliwa yaitu amankan dulu (diri/posisi), bongkar dan habiskan. Penerapannya memang lebih mudah dilihat dalam praktek. Semisal ada lawan yang memegang leher kita, maka kita amankan dulu diri/leher kita, bongkar cekikaknya dan habiskan lawannya. Dalam prakteknya biasanya tiga hal ini bahkan dapat terjadi dalam satu gerakan saja.

Jurus Seliwa
Untuk jurus dalam Seliwa, antara lain, ada yang namanya Pu’un (pohon) ada 6, jurus kembang ada 6; dan jurus gabungan ada 1; termasuk cara memegang senjata pada berbagai posisi, mencabut golok dari sarungnya, cara memutar, melipat, menyerang, berpindah tangan dan memulangkan kembali golok ke sarungnya tanpa melihat proses ini dengan pandangan mata.
Dalam setiap Jurus terkandung 8 unsur yaitu :
1. Sikap badan menghadap lurus (percaya pada yang Satu, untuk Satu Tujuan, dll);
2. ada 2 bentuk tenaga yaitu tenaga.kosong dan isi (atau kombinasi setengah setengah)..dengan ibarat: kalau suami keluar rumah, harus meninggalkan bekal di rumah agar ar anak istri tidak kelaperan.. <!--[if !vml]-->Smiley<!--[endif]-->
3. ada 3 wadah yang berisi tenaga yaitu .kaki, badan, tangan
4. ada 4 cara tata cara pergerakan yakni: gerak hati, gerak badan, gerak kaki, gerak tangan dan ada 4 arah sasaran dasar.
5. 4+1 gerak golok untuk 4 sehat 5 sempurna;
6. Puun dan kembang masing memiliki 6 jurus;
7. Setiap jurus Puun ada 7 langkah..
8. Sampurna…(bulet semua sisi kayak angka 8 ini)

Dalam belajar ilmu golok seliwa para praktisinya memang diminta untuk bersikap seperti bayi yang baru lahir; menyimpan dulu semua konsep/ketrampilanlainnya dan bersedia mengikuti contoh, bimbingan serta arahan dari perguruan. Kendari demikian, pada proses selanjutnya olah pikir juga akan mulai diterapkan dalam praksis beladiri atau permainan golok. Dilanjutkan dengen olah rasa ; dengan mengenal rasa, dan segala pernik-perniknya; yang kesemua hal ini diharapkan akan menumbuhkan kebijaksanaan yaitu niat yang luhur dan murni dari hati.

Golok adalah bagian dari Diri

Berbeda dengan kebanyakan konsep dalam beladiri lainnya. Senjata (golok) dalam Seliwa bukanlah perpanjangan dari tangan. Golok adalah bagian dari badan, bagian dari diri kita. Sehingga diharapkan bermain golok adalah bagian dari diri dengan segala atributnya.

Untuk lebih menjelaskan lagi konsep ini; Bang Edwin pun memberi contoh langsung pada peserta workshop. Katakanlah ada sebuah situasi dimana tangan kita yang memegang golok dapat dipegang dan dikunci oleh lawan sehingga menjadi ‘mati’ dalam makna beladiri. Karena golok adalah bagian tubuh praktisinya; maka bagian tubuh lainnya dapat membantu untuk meng’hidup’kan kembali golok dengan melakukan baik serangan balasan ataupun bongkar’an terhadap diri lawannya. Dengan demikian karena golok adalah satu kesatuan dengan tubuh atau dapat dikatakan sebagai bagian dari diri; maka interaksi dan juga gerakan golok juga tergantung dari pohon/tubuh atau diri praktisinya. Tidak peduli jika tangan praktisinya sudah ‘mati’ terkunci, selama masih ada bagian diri yang bisa meng’hidup’kan atau selama pu’un atau diri/badan masih bisa hidup maka selama itu pula golok Seliwa akan bisa tetap bisa ‘hidup’.

Praktek ber-golok

Tidak hanya mendengar ulasan tentang Seliwa ataupun sekedar melihat para praktisi seliwa memainkan golok; peserta workshop diajak untuk merasakan langsung keampuhan permainan golok ala Seliwa. Acara ini dilakukan selepas istirahan siang dan bertempat di lantai 2 tempat pertemuan tersebut yang adalah sebuah Madrasah Haji Tajjudin bin Haji Syahroni.

Latihan ini pun dimulai dengan pengenalan dan praktek jurus tangan kosong dari Suliwa yang dicontohkan langsung oleh Bang Husin, dengan didampingi oleh para murid seniornya yaitu Bang Edwin, Mas Harjanto Pramono/ipam, Bang Janu, Mas Rudy, dan masih banyak senior lainnya; yang penulis sendiri kurang hapal namanya J –sorry ya–. Terlihat semua peserta tampak antusias dalam menjalankan jurus-demi jurus tangan kosong.

Memang jurus dalam seliwa yang diberikan memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Bang Husin sendiri sempat memainkan beberapa jurus sebagai contoh. Terlihat gerakannya sangat cepat, tegas tapi lentur dan siap dengan banyak kemungkinan perubahan. Seorang anggota Seliwa membisiki penulis bahwa kekhasan Golok Seliwa diantaranya adalah permainan goloknya yag cepat dan tegas ini, serta perpindahan golok ke tangan yang lainnya (kanan/kiri) yang tidak terlihat atau nyaris tidak dapat terdeteksi oleh penonton, berikut cara memasukkan golok ke sarungnya yang dilakukan dengan mengandalkan rasa dengan tanpa melihat ke golok/sarung.

Dan tibalah saatnya untuk berlatih golok berdasarkan jurus tangan ksong tadi. Penulis sendiri sebetulnya tidak biasa memegang golok dan ada rasa ‘ngeri dan seram’ jika memegang atau melihat golok di tangan orang lain. Hal ini mungkin dirasakan juga oleh sebagian peserta yang belum memiliki latar belakang beladiri. Dalam memandang golok memang agak menakutkan.

Namun seiring berjalannya waktu terlihat bahwa memang dalam ilmu seliwa, golok adalah maen golok. Jadi peserta memang seakan begitu asyik bermain-main dengan golok walaupun golok yang penulis pegang hanyalah golok tumpul ; karena belum berani memegang golok yang tajam; seperti miliki mas rudy alias keentup tawon yang mampu mengiris kertas dengan hasil yang sama dihasilkan oleh ketajaman silet…wuiihhh…bagi penulis memang masih terasa agak mendebarkan jantung.

Lama kelamaan golok (tumpul J ) tidak lagi menakutkan malah menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk diolah, digerakan dan mulai mendapat bayangan dengan apa yang dimaksud dengen golok adalah bagian dari tubuh; bahwa seliwa adalah maen golok.

Latihan tidak hanya melibatkan golok, salah seorang murid senior Bang Husin yaitu Mas Harjanto (alias ipam atawa mantrijeron, betul gak ni namanya?—maaf ya kalo salah) berbaik hati berbagi satu dua teknik pisau ; langsung dalam sebuah aplikasi praktis menghadapi serangan pisau dan melakukan serangan dengan pisau.

Sumber : http://silatindonesia.com/2009/06/maen-golok-ala-seliwa/

Kumpulan Video Golok Seliwa

Gerak Gulung Budidaya Ti Padjajaran




Sejarah Singkat

Permainan silat Gerak Gulung Budi Daya Ti Padjajaran pada dasarnya adalah silat tradisional yang berasal dari kerajaan Padjajaran,Bogor. Awalnya bernama Gulung Maung yang diturunkan secara turun temurun melalui jalur keluarga, oleh sebab itu permainan ini tertutup untuk kalangan luas/masyarakat, yang pada akhirnya sampailah kepada Eyang Sarean .

Hingga saat ini Eyang Sarean dianggap sebagai cikal bakal/pewaris awal dari permainan Gulung Maung tersebut yang dapat ditelusuri dengan bukti sejarah.

Eyang Sarean sendiri tinggal di Sukaraja Bogor, karena permainan ini hanya diturunkan di lingkungan keluarga maka permainan ini tidak berkembang luas di masyarakat. Eyang Sarean mempunyai putera bernama Eyang Guru H, Abdullah (±1800–1916) yang juga tinggal di Sukaraja Bogor. Pada masa Eyang Guru ini barulah nama Gulung Maung diubah menjadi Gerak Gulung Budi Daya Ti Padjajaran (GGBD). Perubahan ini didasarkan pada sifat dari permainan Gulung Maung yang sangat buas, karena Gulung Maung mempunyai prinsip “Kembangna cilaka, buahna pati “.

Dari hasil istikhoroh, Eyang Guru mendapat gambaran berupa sesosok bayi yang baru lahir, merangkak, melangkah dan berjalan. Berdasarkan gambaran tersebut Eyang Guru mengambil gerakan untuk jurus berdasarkan tantungan/adegan (berdiri) Sholat, inilah awal dari jurus Salancar. Mengapa disebut GGBD? Karena permainan ini masih mempunyai dasar sama dengan Gulung Maung, akan tetapi yang telah di budi dayakan, dalam artian permainan ini tidak lagi sebuas seperti Gulung Maung yang bersifat seperti Harimau, yang pada dasarnya harus membunuh mangsanya.

Dengan adanya perubahan dari Gulung Maung menjadi GGBD diharapkan agar seseorang yang telah menguasai permainan ini tidak akan buas seperti Harimau, karena pada prinsipnya manusia lebih unggul/mulia dibandingkan Harimau, dan perlu diingat bahwa hampir semua permainan silat sifatnya untuk bela diri termasuk GGBD.

Sesudah masa Eyang Guru permainan ini diwariskan kepada H. Ace Aom Kusumaningrat (1840–1943) yaitu keponakan dan juga menantu dari Eyang Guru, bertempat tinggal di Bojong Neros. H. Ace Aom Kusumaningrat adalah putera dari Uyut Syafei dan beliau adalah adik dari Eyang Guru. Permainan GGBD pada masa ini mulai sedikit terbuka untuk kalangan kerabat.
Agar lebih jelas, GGBD sebenarnya mempunyai 2 permainan yaitu Gerak Leang, Gerak Sambut Pukul dan. Permainan ini dikuasai oleh tiga orang putera H. Ace Aom K. Putera pertama, H.Ahmad Kusumaningrat (1900–1985) tinggal di Jl. Ciranjang Kebayoran Jakarta, menguasai semua jenis permainan GGBD termasuk Gerak Leang, Gerak Sambut Pukul. Putera kedua, Muhammad Yusuf/Aki Cucu mengusai permainan Gerak Sambut Pukul bertempat tinggal di Bojong Neros, dan putera ketiga, Abdusshomad/Aki Shomad menguasai permainan Gerak Leang bertempat tinggal di Wanajaya , Pasir Kuda Bogor.

Sebagai infromasi tambahan, istri H Ace Aom yang bernama Tresmen Megantara menguasai Jurus Budi Daya yang dikhususkan untuk perempuan, walaupun pada intinya tidak ada bedanya dengan Gerak Gulung, namun disesuaikan dengan kodratnya perempuan baik itu dari fisik, dimana gerakan dan power (tenaga), dan pada umumnya perempuan lebih lemah/halus dibandingkan laki-laki.

Pada masa H. Ahmad Kusumaningrat permainan GGBD mulai disebarkan kepada kalangan orang-orang terdekat. Permainan GGBD mulai disebarkan di kalangan umum pada masa Horis Kusumaningrat (1930-1999), yaitu putera pertama dari H. Ahmad Kusumaningrat yang bertempat tinggal di Bojong Menteng Ciomas Bogor. Pada masa Horis Kusumaningrat, banyak pendekar dan praktisi beladiri dari dalam dan luar negeri sempat datang berguru ke beliau, walaupun sebelum mereka berguru, mereka jajal dulu sebelumnya. Sampai pada akhirnya mereka mengakui keunggulan dan kehebatan Horis Kusumaningrat. Bahkan menurut mereka, teknik beladiri silat Gerak Gulung sangat efektif dan berbahaya bagi lawan jika digunakan dalam suatu pertarungan. Beberapa pendekar dan praktisi beladiri dari dalam dan luar negeri yang sempat berguru dan mempelajari sedikit teknik beladiri GGBD. diantaranya adalah Eddie Jafri, Greg Alland, Dustin Etan/ David Tanner, Frank Metiello.

Berdasarkan kesepakatan dari Bapak. Horis Kusumaningrat sebagai pewaris langsung dari permainan silat GGBD, diangkatlah beberapa orang Rakawira (yang telah mendapat ijin untuk melatih), beberapa orang diantaranya TB. Isnaeni bin Isro (Kang Iyus), Heri Bahtra (Mas Heri), M. Ridwan (Kang Awang), Firman Hamdani (Kang Dani). Januari tahun 2008 Kang Iyus wafat, sedangkan Mas Heri dan Dani karena kesibukannya untuk sementara ini tidak aktif. Saat ini yang masih aktif melatih adalah Kang Awang, berpusat di kediamaan beliau di Ciomas Bogor.
Seperti pada umumnya permainan silat di tanah Sunda, awal dari silat GGBD adalah untuk Siar Islam, seiring dengan perkembangan jaman sekarang permainan ini lebih difokuskan kepada pembinaan ahlak/moral dengan pendekatan silahturahmi yang intinya adalah persaudaraan. Perlu juga diketahui di dalam silat GGBD tidak ada istilah Guru dan Murid yang ada hanyalah Kakak dan Adik. Oleh sebab itu apabila ingin menjadi warga GGBD harus di Taleq. Dan bagi siapa saja yang ingin menjadi warga GGBD silahkan datang ke kediaman Kang Awang di Ciomas Bogor.

CIRI PERMAINAN GGBD
Aspek permainan GGBD ada 4 yaitu:
1. Gerak
2. Rasa
3. Gulung
4. Budi Daya
Apabila dilihat dari 4 aspek tersebut permainan GGBD mempunyai sifat gerakan :
1. Gerak rasa
2. Gerak yang lemah lembut
3. Gerak yang keras
4. Gerak yang buas
JURUS GGBD
• Pada dasarnya semua jurus yang ada dalam silat GGBD adalah jurus dasar
• Inti dari silat GGBD harus menguasai jurus salancar karena salancar adalah induk dari semua jurus
• Jurus permainan silat GGBD dibagi menjadi 3 ( tiga ) ditambah dengan faham dan rantean
JURUS adalah Gerakan yang dibuat untuk mendukung dasar dari permainan
• Gerak Pukul (8 Jurus)
• Gerak Gulung (8 Jurus)
• Lalangkahan (23 Langkah)
FAHAM adalah gerakan yang sifatnya baku (22 Faham)
RANTEAN adalah merangkaikan jurus, faham dan nafas menjadi satu

Sumber: http://silatindonesia.com/2008/11/rahasia-beladiri-kerajaan-padjadjaran/

Margaluyu Pusat




Kronologi Singkat Pendirian Margaluyu Pusat
  
1928

S. Andadinata berhenti berpetualang pada usia 35 tahun, dan mulai mencari pencerahan diri dngan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kurang lebih 10 tahun lamanya beliau "berdiam diri" mengolah bersama sama dengan abah Wiranu (kakak seperguruan) dan Mang Suwandi (Endi Soehandi) sebagai pasangan berlatih sehingga tersusun cara pengolahan keilmuan yang tepat dan efisien.
Dari sini kemudian ditetapkan 10 Jurus gerak Badan (spor).
Orang pertama yang menjadi murid pribadi abah Andadinata lurah Cikuya yakni bapak Ibrahim.

1938 ~1948

Bertepatan tanggal 12 Rabiulawal di tahun 1938, dibentuk perguruan yang dinamakan Spor Marga Rahayu.
Maka mulai saat itu mulai menerima murid untuk untuk belajar spor diantaranya adalah Mang Uwen (Garut),
Mang Ulis (Adiwikarta - Cikuya) dan yang termuda Mang Andi Rohandi (dungus maung Cicalegka).
Alasan utama mengapa pada saat itu menamakan perguruan dengan istilah Gerak Badan (Spor), karena dimasa itu adalah masih zaman penjajahan Belanda. Dimana menghinari tekanan penjajah (Belanda) jika secara nyata membuat perguruan Silat.
Atas usul dan saran dari Mang Andi, Mang Ulis dan Mang Uwen gerak badan (spor) Marga Rahayu diganti namanya menjadi Marga Saluyu disingkat menjadi Margaluyu. Hal ini dikaitkan dengan konsep konsep yang mendasari setiap gerak yang ada pada 10 jurus yang dipelajari. Namun kajian pengolahan 10 jurus tetap berjalan dan mengalami perubahan bentuk.
Sampai pada akhirnya diperolah pakem yang baku dimana 10 jurus tadi sangat berkaitan dengan harmonisasi dan sinkronisasi antara gerak dan pikiran yang menjadi center perhatian.
Maka kemudian spor Margasaluyu (Margaluyu) secara definitip diberi nama Margaluyu Pusat.

1948 ~ 1952


Gerak Badan (spor) Margaluyu Pusat, setelah Indonesia merdeka kemudian didaftarkan ke PPSI Jawa Barat dengan nama PPS Margaluyu Pusat dan Dep Pendidikan & Kebudayaann RI pada tahun 1948.
Sebagai organisasi perguruan pencak Silat.
Pada Saat itu yang ditunjuk sebagai pelatih Silat adalag Pa Idit Junaidi, Pelatih Pusat Mang Suwandi.
Sedangkan yang bertindak sebagai Ketua PPS Margaluyu Pusat adalah bapak Jaya Laras.

pada tahun 1950...Ditetapkan Oleh abah Adadinata sebagai ketua Majelis, pemberian Mandat untuk Pelatih yang memiliki kuasa untuk melakukan pelatihan dan pengharkatan (wisuda).
Oleh karena itu mulai dari tahun 1950, abah Andadinata tidak lagi aktip untuk melatih. Semua kegiatan pelatihan diserahkan kepada para pelatih yang sudah diberi Mandat.
Dengan kata lain setelah tahun 1950 tidak ada lagi murid Margaluyu Pusat yang dilatih langsung oleh abah Andadinata. Namun demikian abah Andadinata tetap masih melakukan pengharkatan (wisuda), kepada mereka yang berlatih di Cicalengka.

1953 ~ 1969

Ketua PPS Margaluyu Pusat bapak Jayalaras Meninggal dunia. Sementara pengembangan Margaluyu Pusat sedang menyebar ke seluruh Jawa Barat, tengah dan Timur. Agar proses pelatihan tidak terganggu, maka abah Andadinata turun tangan merangkap jabatan. Sebagai ketua Majelis dan ketua PPS Margaluyu Pusat. Mulai saat itu PPS Margaluyu menjadi Gerak Badan Pencak Margaluyu Pusat.

1969

Abah Andadinata tutup usia pada tanggal 30 Januari 1969. dimakamkan di Cikuya Cicalengka.
Organisasi Gerak Badan Pencak Margaluyu Pusat dipimpin secara kolektip oleh Ibu Sukaesih (istri abah Andadinata), Mang Andi Rohandi dan Pak Idit Junaidi.
Abah Andadinata tidak menunjuk pewaris keilmuan Margaluyu Pusat kepada siapapun. Namun menyerahkan amanah pelestarian keilmuan Margaluyu Pusat agar tetap sesuai dengan pakem baku menjadi tanggung jawab ibu Sukaesih
Abah Andadinata
Pendiri Gerak Badan Pencak Margaluyu Pusat
Andadinata yang memiliki darah menak Sumedang dan lebih suka menjalani kehidupan pribadinya secara mandiri tanpa tergantung pada orang lain.
Andadinata dilahirkan dIi didesa Rancabayawak yang berada di wilayah Majalaya sekitar 30KM tenggara kota Bandung, pada tahun sekitar 1893. Tidak diketahui tepat tanggal dan bulan kelahirnya.
Semasa hidupnya, sebagian besar dilalui melalui petualangan ke seluruh antero Jawa Barat utamanya wilayah Parahiangan. Sebagai petualang sudah barang tentu harus membekali diri dengan kemampuan beladiri yang mumpuni agar dapat survive.

Keahlian ilmu ilmu hikmah dari para ulama, utamanya yaitu dari mama ajengan Syeh Haji Abdul Kahpi seorang ulama di wilayah Petaruman Tarogong Garut. Ilmu Hikmah yang didapat diantara lain adalah ilmu Haqmaliyah. Sampai saat ini ilmu Haqmaliyah masih eksis dilaksanakan oleh anak keturunanya.


Ilmu pencak silat pertama yang dikuasai oleh abah Andadinata adalah Silat jurus Peksi Muih sebagai warisan dari keluarganya. Yang kelak dikemudian hari inti dari tata gerak jurus peksi muih menjadi jurus Payung Rasul. Sampai saat ini jurus silat Peksi Muih masih eksis dan boleh dipelajari oleh warga penghayat Gerak Badan Pencak Margaluyu Pusat. Semua senior Margaluyu Pusat dipastikan tahu jurus silat peksi muih. Penyederhanaan tata gerak jurus silat peksi muih dengan melakukan kompilasi inti tata geraknya dipadukan dengan ilmu hikmah yang ber lafads Allah Muhammad Adam Rasul, Berkah Allah Sahabat Rasul, maka terciptalah jurus Payung Rasul.
 


Pada masa itu ilmu pencak silat yang jurus-jurusnya bermuatan / menyatu dengan ilmu hikmah masih belum banyak di kenal masyarakat.
Untuk meyakinkan bahwa jurus Payung Rasul benar benar ampuh. Maka disetiap ada tabeuh gendang pencak, abah Andadinata selalu tampil untuk kaul meramaikan perhelatan hajat dengan seizin tuan rumah yang melaksanakan hajat. Seringkali jurus peksi muih atau jurus payung rasul terlihat aneh dimata pemirsa sehingga menimbulkan rasa penasaran pemirsa untuk sambung rasa dengan abah Andadinata. Dalam kenyataanya setiap terjadi sambung rasa, rata rata mereka dapat dijatuhkan dalam satu gerakan,



Ilmu hikmah lainya didapat oleh abah Andadinata awalnya bermula dari seringnya beliau hadir dalam pengajian ta’lim di tempat Ajengan Asep Samsuddin di kasepuhan Cirebon. Sewaktu abah Andadinata berpetualang di wilayah kota Cirebon sebagai pedagang telur. Layaknya seorang pedagang selalu mencari tempat yang ramai. Satu diantaranya adalah jika disuatu tempat dilaksanakan hajatan atau majelis ta’lim.



Ketertarikan Ajengan Asep Samsudin terhadap sosok Andadinata, karena setiap ta’lim dilaksanakan beliau selalu hadir dan membiarkan lang daganganya tidak di tunggu. Dan ketika ta’lim selesai dagangan abah Andadinata selalu laris dibeli oleh peserta majelis ta’lim.
Sebagai ulama dan ajengan, Mama ajengan Asep Samsudin sudah melihat bahwa pedagang telur ini memiliki kharomah yang spesifik. Dan akhirnya abah Andadinata diangkat sebagai murid untuk melestarikan ilmu ilmu hikmah ajengan Asep Samsudin.






Perkembangan pencak silat semakin berkembang, meski pencak silat masih terbatas diajarkan kepada keluarga ningrat dan kalangan ulama. Maka atas saran mama Ajengan Asep Samsudin, Andadinata untuk melanjutkan pembelajaran melengkapi ilmu pencak silat di ke wilayah Parahiangan barat tepat nya di wilayah Kadipaten Cianjur. Berbekal referensi dari mama ajengan Asep Samsudin, abah Andainata datang ke Padepokan silat juragan Rd Haji Ibrahim. Yang dikenal sebagai pendiri dan pencetus Maenpo Cikalong.



Tidak jelas apakah abah Andadinata dilatih langsung oleh juragan Rd Haji Ibrahim yang pada tahun 1900an sudah sepuh, atau dilatih oleh seseorang pelatih yang di tugaskan. Yang jelas dari 10 jurus halusan Margaluyu Pusat sangat kental dengan pengaruh maenpo Cikalong. yang berbasis pada silat Madi, Kari dan silat asli Cianjur.



Tokoh Maenpo Cikalong yang usianya relatip lebih muda dari juragan Rd Haji Ibrahim adalah juragan Rd Haji Abullah yang mewarisi ilmu pencak silat Sabandar. Sedangkan Silat Sabandar berasal dari Moh Kosim yang konon berasal dari Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat.
Dari juragan Rd Haji Abdullah, abah Andadinata mewarisi ilmu pencak silat Sabandar yang tata geraknya sangat halus dan lembut.



Pengaruh silat Bugis dan Madura dalam keilmuan Margaluyu didapat sewaktu abah Andadinata berpetualang dipesisir pantai utara Cirebon, dimana para keturunan prajurit Bugis dan Madura yang bergabung dengan Dipati Anom (Amangkurat Amral) yang menyingkir ke Cirebon untuk meminta suaka dari Sultan Cirebon ketika, Dipati Anom berseteru dengan ayahnya sendiri Raja Mataram sinuwun ndalem Gusti Amangkurat I



Kompilasi tata gerak Madi, Kari, Sabandar dan Khaer inilah yang dikemudian hari menjadi 10 jurus wajib Gerak Badan Pencak Margaluyu Pusat ditambah ilmu Hikmah yang diharkatkan setelah selesai berlatih.



Mengingat tata gerak 10 jurus Margaluyu Pusat boleh dikatakan sangat sederhana, jurus-jurus tersebut tidak bisa diperagakan dipanggung sewaktu ada tabeuh gendang pencak. Oleh karena itu atas saran para kerabat bahwa jurus Margaluyu Pusat harus dilengkapi dengan jurus silat murni yang benar benar merupakan maenpo. Dengan demikian Margaluyu Pusat dilengkapi dengan Maenpo Selah Eurih, Paleredan warisan dari juragan Rd. haji Mama Soekarma dan Rd Haji Soma.



Oleh karena itu dalam setiap proses harkatan, ketiga tokoh Rd Haji Ibrahim, Rd Haji Abdullah dan Rd Haji Soma yang kesemuanya adalah kerabat Cikalong Cianjur selalu disebut untuk dimohon keikhlasanya serta mohon kepada Allah SWT agar manfaat ilmu warisanya menjadi amal ibadahnya.



Keilmuan Margaluyu, boleh dikatakan lengkap, karena berintikan ilmu hikmah Sunda wiwitan yang ditulis tangan oleh abah Andadinata dalam aksara Sunda Wiwitan yang serupa dengan tulisan pada relief prasasti2 di pulau Jawa, serta aksara Hanacaraka. Secara otentik buku ini masih ada dalam bentuk aseli dan telah diperbanyak melalui scanning komputer untuk dipegang oleh semua pelatih yang sudah mendapat mandat untuk melakukan Harkatan.



Pengaruh silat Cina (Khun Tao) dan Mande dalam keilmuan Gerak Badan Pencak Margaluyu Pusat diperoleh abah Andadinata sewaktu beliau berpetualang di Cirebon. Dimana silat Cina, Mande masuk dibawa mbah Khaer.



Adapun pengaruh silat Minang diperoleh dari Mama Sabandar (Moh Kosim). Sedangkan pengaruh silat Betawi pada keilmuan Margaluyu Pusat karena hasil berguru Maenpo di Cikalong. Dimana Abang Madi dan Abang Kari adalah guru dari juragan Rd Haji Ibrahim.



Hal tersebut dikuatkan tokoh Mbah Madi, Mbah Kari dan mbah Sabandar dan mbah Khaer selalu disebut dalam setiap proses Harkatan sebagai ucapan terma kasih atas manfaat ilmunya dan memohon agar amal ilmu yang diwariskan dari beliau ini mendapat imbalan yang tinggi dari Allah SWT.



Kelengkapan keilmuan Gerak Badan Pencak Margaluyu Pusat secara sempurna dikuasai oleh abah Andadinata ketika umur beliau mencapai sekitar 35 tahun. Tetapi profesi sebagai pedagang telur keliling tak pernah dilepaskan. Dan kebiasaan naik panggung ketika ada perhelatan tabeuh gendang pencak untuk kaul kepada yang punya hajat selalu dilakukan sebagai promosi makanan sehat yakni telur yang diperdagangkan.



Karena seringnya terjadi sambung rasa, dan dalam setiap sambung rasa abah Andadinata selalu unggul, maka beliau menjadi terkenal sebagai juara kaul yang disegani.



Ketenaran abah Andadinata sebagai juara kaul yang tidak punya perguruan, sempat terdengar oleh seorang guru perguruan silat yang terkenal di kota Bandung yaitu mang Endi Soehandi yang bertempat tinggal di Gang Singsong tepatnya disekitar station KA Bandung. Tidaklah sulit mencari sosok Andadinata bagi mang Endi Soehandi.



Pertemuan antara mang Eni Soehandi dengan Abah Andadinata untuk sambung rasa merupakan peristiwa penting sebagai tonggak sejarah berdirinya Gerak Badan Pencak Margaluyu Pusat.



Baru pertama kali abah Andadinata bersambung rasa dengan tokoh silat yang berlevel guru. Bagi mang Endi Soehandi juga baru pertama kali bertemu pendekar tanpa paguron yang selalu bisa mengunci geraknya dengan halus tanpa melukai apalagi mencederai. Sebagai ksatria Pendekar, Mang Endi Soehandi menyatakan bahwa keilmuan Margaluyu Pusat adalah ilmu silat yang lengkap ditambah ilmu hikmah yang benar2 murni tanpa menggunakan tenaga khodam. Dan beliau memohon kepada abah Andadinata untuk sudi menerima dirinya sebagai murid.



Permohonan mang Endi Soehandi ditolak oleh Andadinata, tetapi menerimanya sebagai sahabat latih. Maka mulai saat itu, dinyatakan bahwa dalam pakem keilmuan Margaluyu tidak dikenal istilah guru, apalagi gelar guru besar. Yang dikenal adalah sahabat (ikhwan / ahwat) yang sedang berlatih.



Sumbangan yang terbesar dari Mang Endi Soehandi dalam keilmuan Margaluyu Pusat adalah jurus kasaran yang lebih dikenal dengan jurus 14 dan jurus-jurus peupeuhan. Dengan demikian semakin lengkaplah jurus jurus Kelimuan Margaluyu Pusat yang merupakan jurus jurus yang memiliki kharomah.



Dengan masuknya mang Soehandi ke dalam Margaluyu Pusat, kemudian beliau membawa sahabat-sahabatnya untuk berlatih diantaranya adalah Mang Uwen serta pak Adiwikarta (Mang Ulis) dan Andi Rohandi. Maka disepakati yang semula keilmuan Margaluyu belum memiliki nama paguron maka dengan bergabungnya para senior diatas, secara resmi diberi nama Margaluyu Pusat.



Marga adalah jalan, Luyu = Saluyu atau lancar, Pusat berarti selalu ditengah. Jadi secara harfiah Margaluyu Pusat diartikan sebagai Selalu berjalan ditengah agar selalu lancar.



Meski jurus-jurus Gerak Badan Pencak Margaluyu Pusat berbasis pada gerak pencak silat. Tetapi sesungguhnya adalah ilmu beladiri pernapasan, yang berkharomah tenaga dalam. Yang mana seni beladiri pernapasan saat itu pada akhir decade 1930an belum banyak dikenal oleh masyarakat. Sehingga sulit di perkenalkan atau disosialisasikan. Baru pada tahun 1948 didaftarkan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung sebagai Persatuan Pencak Silat Margaluyu Pusat.
Sampai akhir hayatnya Abah Andadinata bermukim Jl. Ir H. Juanda no. 56 desa Cikuya kecamatan Cicalengka. Beliau wafat pada petang hari tanggal 29 Januari 1969 pada usia 76 tahun dan di makamkan ditempat yang sama pada tanggal 30 Januari 1969 di desa Cikuya, Cicalengka


catatan sumber:
---------------
ibu Sukaesih Andadinata (istri.
Eceu Titiek putri pertama abah Andadinata)
Kang Ujang Tohidi (Putra bungsu abah Anda dinata)
Eceu Eja (putri ke 2 abah Andadinata)
Mang Soehandi (murid generasi pertama)
Kang Djodjon (putra tiri abah Andadinata)
Djang Suhanda (menantu abah Andinata)
Bapak Wiranu (Cikuya - Cicalengka, Kakak seperguruan maenpo abah Andadinata).
Mang Andi Rohandi (murid generasi pertama).
Idit Junaidi (Cikuya - Cicalengka, pelatih pusat Margaluyu)
Antonius Sulistiyanto (pelatih Margaluyu Pusat Yogyakarta)
Bapak Shaleh (Linggar Rancaekek, Bandung, pelatih Margaluyu di Wates)
Sumo Prawiro (Karangnongko Wates DIY)
Bapak Darmo (kaliurang Sleman, DIY)
Sukabdjo (Beran - Sleman.
Dan Suwaryono (dosen Asti Yogyakarta)
Den Toto (tarekat Haqmaliah, Petaruman Garut.
Ucu Sapri - Perguruan Silat Padjadjaran Cimande- Bogor
Perpustakaan PPSI Bandung, Cianjur Jawa Barat.
Masyarakat Desa Cikuya Cicalengka

Kumpulan Foto foto Margaluyu Pusat
(gambar kiri) Sikap hormat, (gambar kanan) aplikasi jurus 4 halusan

(Gambar tengah) Jurus 5 Halusan, (gambar kanan) aplikasi jurus 5 halusan

Minggu, 24 Oktober 2010

Pencak Silat Cingkrik Goning



Lambang PSCG

Sekilas Mengenai Cingkrik Goning

Silat Cingkrik adalah seni bela diri Indonesia yang perkembangannya termasyur di wilayah Betawi dan telah berumur ratusan tahun dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Di tiap-tiap daerah di Indonesia ada tokoh-tokoh pencak silat yang ternama. Salah satu tokoh silat Cingkrik ini diantaranya adalah  Ki Pitung yang menjadi legenda di kalangan masyarakat Betawi.  Ki Pitung bagi masyarakat Betawi adalah pendekar dan pahlawan pembela kaum lemah dari kesewenang-wenangan penjajah Belanda dan antek-anteknya.
Ki Pitung beliau belajar pencak silat dari seorang haji yang berasal dari daerah Menes di Banten Jawa Barat. Beliau menyebar-luaskan pencak silat cingkrik Betawi ini ke daerah Marunda dan ke daerah Rawa Belong Kebon Jeruk serta daerah Jakarta dan sekitarnya.

Kong Goning (Almarhum)
Tentang Ki Goning, nama aslinya adalah Ainin Bin Urim. Beliau lahir sekitar tahun 1895 dan meninggal sekitar tahun 1975 pada umur 80 tahun. Beliau sering dipanggil “Nin” (berubah bunyi menjadi “Ning”) dan ditambah di depan kata Ning leh orang-orang dengan bahasa Betawi yaitu dengan kata ejekan “Go” maka menjadi “Goning”.
Ki Goning atau lebih akrab dipanggil Kong Goning adalah  seorang pejuang serta pewaris dan penerus silat Cingkrik Betawi yang cukup termasyur sehingga murid-murid beliau menisbahkan ilmu silat Cingkrik yang diterimanya kepada nama beliau sehingga dikenallah “Cingkrik Goning”.
Menurut penjelasan dari Haji Husien (amak kedua dari Kong Goning), bahwa beliau sering pergi ke daerah Marunda (Cilincing Tanjung Priok) tempat dimana Ki Pitung jaya pada zamannya.  Beliau pulang ke Kedoya dari Marunda 2, 3 sampai 4 hari lamanya (tidak dijelaskan apa tujuannya).
Kong Goning mempunyai 4 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan. Nama anak laki-laki beliau adalah :
1. Kosim (Almarhum)
2. Haji Husien
3. Haji Sa’adih
4. Hasan Jago/Mandor (Almarhum)
Di daerah Kedoya, pencak silat Cingkrik Betawi ada 2 macam aliran, yaitu:
1. Aliran silat Cingkrik Betawi Sinan dengan ciri gerakan jurus pendek-pendek.
2. Aliran silat Cingkri Betawi Goning dengan ciri gerakan jurus panjang dan lebar.

Babe Usup Utai (Almarhum)

Babe Usup Utai, beliau adalah murid dari Kong Goning. Beliau lahir sekitar tahun 1927 serta meninggal sekitar tahun 1993 pada umur 66 tahun.

TB. Bambang Sudrajat
TB. Bambang Sudrajat adalah murid dan menantu dari Babe Usup Utai sekaligus merupakan pewaris dan penerus dari aliran silat Cingkrik Goning melalaui jalur keilmuan Babe Usup Utai.
Menjelang meninggalnya, Babe Usup Utai memanggil TB. Bambang Sudrajat dan meminta kesanggupan TB. Bambang Sudrajat untuk meneruskan tongkat pewarisan ilmu silat Cingkrik Goning ini dan berwasiat supaya ilmu silat Cingkrik Goning ini supaya dijaga kelestariannya jangan sampai “Mati Obor”.
Demikian sejarah singkat mengenai asal-usul Perguruan Silat Cingkrik Goning ini, dan mudah-mudahan menambah wawasan dan pengetahuan serta bermanfaat bagi kita semua.

Sumber : http://cingkrikgoning.wordpress.com/about/

Sejarah Cingkrik Goning

Seorang pria mengayunkan golok di tangannya dengan sekuat tenaga, berusaha untuk melukai pria lain di hadapannya. Tiba-tiba, sebelum mata sempat melihat dengan seksama, si pria pemegang golok malah jatuh tersungkur akibat terkena tangkisan lawannya.

Aksi di atas hanyalah latihan yang dilakukan di aula Padepokan Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, beberapa waktu lalu. Dan pria yang berhasil menghela serangan tadi tak lain adalah Tubagus Bambang Sudrajat, guru besar silat asli dari Betawi.

”Cingkrik goning adalah aliran silat yang mengandalkan kecepatan. Tidak ada hitungan satu, dua, tiga seperti bela diri lain. Yang ada hanya hitungan satu, dan lawan sudah harus jatuh,” ujar Bambang, menjelaskan seputar ilmu silat cingkring goning yang ditekuninya.

Ruangan terbuka seluas 10×10 meter persegi, yang letaknya di dalam kompleks padepokan silat TMII itu, setiap Sabtu pagi diramaikan oleh para pecinta silat. Ada para peserta cingkrik goning yang sedang berlatih, anggota forum silat yang asyik mengobrol, bahkan para pengemar silat lainnya yang hanya datang untuk menonton atau berbagi cerita.

”Disini memang pusat latihan cingkrik goning, maka semua orang bisa mencari kami disini setiap Sabtu,” sahut Bambang.

Wasiat
Nama cingkrik tercetus karena beberapa gerakan utama dalam silat ini menggunakan satu kaki untuk berlompatan. Nah, lantaran orang Betawi biasa menyebutnya jejingkrikan, maka silat ini kemudian disebut jingkrik atau cingkrik.
Dalam perjalanannya, cingkrik kemudian terbagi dua, menjadi cingkrik sinan dan cingkrik goning. Perbedaan yang paling mencolok dalam duo cingkrik ini adalah, dalam cingkrik sinan, setiap ‘permainan’ menggunakan tenaga dalam atau tenaga gaib.
”Sementara cingkrik goning merupakan silat yang murni menggunakan teknik fisik semata,” tambah Bambang.

Seseorang bernama Ainin bin Urim yang biasa dipanggil Engkong Goning-lah yang mendiirikan aliran ini. Orang yang lahir di 1895 dan wafat pada 1975 ini mengajarkan ilmu silat goning di Rawa Belong, Kebon Jeruk dan Jembatan Dua. ”Tidak ada yang tahu dari mana Engkong Goning mendapatkan ilmunya,” kata Bambang.

Ilmu cingkrik ini, menurut Bambang, ia dapatkan dari salah satu murid Engkong Goning, Usup Utai, yang juga mertuanya. Sambil menyender dengan santai, Bambang mengenang wasiat terakhir Usup Utai sebelum meninggal di tahun 1993.

”Saya dipanggil dan diberikan pesan untuk melanjutkan ilmu silat ini, Usup Utai berkata agar silat ini jangan sampai mati obor,” katanya.

Dijelaskan, untuk menguasai ilmu warisan leluhur ini, seseorang harus menguasai empat tahapan. Tahap pertama yaitu menguasai 12 jurus dasar cingkrik goning. Kedua, belajar sambut, ketiga mempelajari aplikasi dari 12 jurus dasar yaitu 80 bantingan khas cingkrik goning, dan yang terakhir adalah jual beli atau sparring.

Keahlian bela diri ini menjadi menarik karena diidentikan dengan kisah Bang Pitung, seorang tokoh jagoan
Betawi tempo dulu. Ditambah lagi dengan gerakan-gerakan yang mengandalkan kelenturan dan kecepatan.
”Kebutuhan untuk membela diri sekarang ini cukup tinggi, karena maraknya kejahatan di tengah-tengah kita,” kata Bambang.

Seperti bela diri lainnya, cingkrik goning juga mengaplikasi sistem tingkatan, yang tertinggi adalah saat seorang pesilat mendapatkan sabuk merah dengan lima strip. Untuk mencapai tingkatan tersebut memakan waktu maksimal 7 tahun. Bambang sendiri belajar sejak usianya masih 11 tahun, dan mulai mengajarkan ilmu warisan leluhur ini di usia 30 hingga kini di usianya yang sudah 54 tahun.

Kendala SDM
Kehidupannya sehari-hari pun disibukkan dengan menurunkan ilmu warisan ini di berbagai tempat. ”Padepokan silat TMII, Pondok Cabe, Ponpes Darul Ikhsan dan Darul Hikam, serta berbagai tempat yang meminta pengajaran privat,” ujarnya sambil tersenyum.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti cingkrik goning di Padepokan Silat TMII adalah Rp 20 ribu setiap kali datang, dengan frekuensi latihan satu kali seminggu. Sedangkan untuk latihan di Candradimuka Martial Art adalah sebesar Rp 200 ribu per bulan dan kelas privat di rumah peserta, seseorang harus merogoh kocek sebanyak Rp 500.000 per bulan, untuk dua jam latihan setiap sepekan sekali.

”Sebenarnya guru silat enggan memungut bayaran, karena tujuan kami adalah menurunkan ilmu agar tidak punah di kemudian hari,” tandasnya. Namun, bagaimana pun, mereka tetap membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari karena tidak ada pihak yang bisa menjamin kesejahteraan seorang pahlawan pelestari kebudayaan.

Untuk tetap melestarikan seni bela diri versi lokal ini, Bambang mengaku mengalami banyak kesulitan, salah satunya adalah sumber daya manusia. Diungkapkan bahwa hingga kini anggotanya hanya berjumlah kurang dari 50 orang. ”Malah yang berhasil mencapai tingkatan tertinggi baru dua orang, mereka saya jadikan asisten,” katanya. Maka dalam rangka menyosialisasikan cingkrik goning, Bambang bergabung dalam FP2STI.

Dia juga berharap, pemerintah lebih memerhatikan keberlangsungan cingkrik goning yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan visit Indonesia ini. ”Sebenarnya kami juga berminat untuk melatih aparat keamanan Negara, namun ya itu tadi masalahnya, kami kekurangan tenaga pengajar yang kompeten,” tambah pria kelahiran Bengkulu ini.

Hingga kini, usia tua bagi Bambang bukan hambatan untuk terus melatih dan menurunkan ilmu warisan dari gurunya. Demi satu tujuan, ”Agar cingkrik goning, sebagai salah satu kebudayaan tradisional Indonesia tidak musnah dimakan jaman,” katanya. c88

http://www.republika.co.id/koran/14/12749.html

Koleksi Video Silat Cingkrik Goning

1. Jurus Ke-7
2.Application 1
3. Application 2

Koleksi Foto Silat Cingkrik Goning

1.

2.

3.

Sumber : http://cingkrikgoning.wordpress.com/galeri/

Daftar Pengurus Cingkrik Goning

JABATANNAMA
Guru BesarTB. Bambang Sudrajat
Dewan GuruLutfi
Deddy
Wildan
Pembina PusatDrs. Burlian Safei
Ir. Edison
Hasan Bin Tahir
Drs. Ateng Sadela
Inspektur Pol. TB Benny S.,SH
Ketua UmumDeddy Suryadi Salim, MBA
Ketua HarianH. Aceng Sasmita
Sekretaris UmumLutfi
Sekretaris IIr. Rudi Hendrawan, M.M
Sekretaris IIAtta
Bendahara UmumH. Kusnandar, S.E
Bendahara ITonny
Bendahara IILutfi C
Bendahara IIIEry N
HumasRozzy
Yudhi H.
Ronny Z.S
Sukarno
Dewan KaderRahmat
Maman
Websitecingkrikgoning.wordpress.com
Emailcingkrikgoning@gmail.com


KURIKULUM PELATIHAN
Materi pelajaran terdiri dari 3 tahapan :
1. Mempelajari jurus-jurus 1 s/d 12
2. Mempelajari ISI atau SAMBUT jurus 1 s/d 12 bantingan dan kuncian
3. Mempelajari JUAL + BELI bantingan dan kuncian
Adapun untuk tingkatan-tingkatan sabuk/ban ikat pinggang dalam perguruan silat Cingkrik Goning terdiri dari :
1. DASAR PUTIH, mempelajari dan menyelesaikan jurus-jurus/kembang 1 s/d 12.
2. KUNING, menyelesaikan dan mempelajari jurus-jurus/kembang 1 s/d 12 ditambah buah isi sambut bantingan pada jurus satu, ada 9 (sembilan) cepat & tepat,
3. HIJAU, menyelesaikan dan mempelajari jurus-jurus/kembang 1 s/d 12 ditambah buah isi sambut bantingan pada jurus satu & dua ada 12 bantingan cepat & tepat.
4. BIRU, menyelesaikan/mempelajari jurus-jurus/kembang 1 s/d 12 ditambah buah isi sambut bantingan pada jurus satu, dua dan tiga ada 18 bantingan, cepat & tepat.
5. COKLAT, menyelesaikan/mempelajari jurus-jurus/kembang 1 s/d 12 ditambah buah isi sambut bantingan pada jurus satu, dua, tiga dan empat ada 21 bantingan, cepat & tepat.
6. MERAH POLOS, menyelesaikan/mempelajari jurus-jurus/kembang 1 s/d 12 ditambah buah isi sambut bantingan pada jurus satu, dua, tiga, empat dan lima ada 24 bantingan, cepat & tepat.
7. MERAH STRIP I, menyelesaikan/mempelajari jurus-jurus/kembang 1 s/d 12 ditambah buah isi sambut bantingan pada jurus satu, dua, tiga, empat, lima dan enam ada 26 bantingan, cepat & tepat.
8. MERAH STRIP II, menyelesaikan/mempelajari jurus-jurus/kembang 1 s/d 12 ditambah buah isi sambut bantingan pada jurus satu, dua, tiga, empat, lima, enam dan tujuh ada 43 bantingan, cepat & tepat.
9. MERAH STRIP III, menyelesaikan/mempelajari jurus-jurus/kembang 1 s/d 12 ditambah buah isi sambut bantingan pada jurus satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh dan delapan ada 45 bantingan, cepat & tepat.
10. MERAH STRIP IV, menyelesaikan/mempelajari jurus-jurus/kembang 1 s/d 12 ditambah buah isi sambut bantingan pada jurus satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan dan sembilan ada 50 bantingan temasuk pancer bawah, cepat & tepat.
11. MERAH STRIP V, menyelesaikan/mempelajari jurus-jurus/teknik global bantingan dari jurus 10, 11 dan 12 (teknik mengejar lawan), cepat & tepat.
Keseluruhan ISI/SAMBUT dengan global bantingan diatas selesai dengan catatan hanya menerima pukulan lawan saja dari A sampai dengan Z.
12. MERAH STRIP VI & VII
Tingkatan lanjut yang merupakan tingkatan tertinggi dalam kurikulum silat Cingkrik Goning yaitu mempelajari JUAL BELI TEKNIK CINGKRIK guna menjaga apabila bertemu lawan yang memiliki ilmu bela diri Cingkrik pula.
JUAL BELI : adalah memukul dan membanting lawan kita (kita yang memukul kita yang dapat) serta tambahan dari Guru Besar/Pewaris Akhir berpotensi global 80 bantingan hasil dari pengalaman-pengalaman berkelana berhak memakai sabuk/ban ikat pinggang “MERAH STRIP VI & VII” yang merupakan tingkat tertinggi, silahkan guru besar membuka pintu untuk jalan menuju kebenaran dan mengembangkan warisan ini disertai do’a yang ikhlas.